Label

Kamis, 29 Mei 2008

Sabtu, 24 Mei 2008 (Terbit di AP Post)
Reformasi Menjadi Nisan
Oleh: Sutami

Tewasnya empat mahasiswa Trisakti karena berteriak menyangkut ranah kekuasaan Orde Baru yang harus segera turun menggelorakan Tragedi 12 Mei 1998 menjadi pijakan peristiwa monumental dalam politik bangsa Indonesia. Dan tidak kalah pentingnya peristiwa tersebut menjadi batu cermin bahwa kekuatan mahasiswa dalam menumbangkan kekuasaan tiran adalah gerakan moral yang berlandaskan semangat kepeloporan. Hasilnya Soeharto harus Gulung tikar tepat 21 Mei 1998 sehari setelah bangsa Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional.
Dentuman reformasi melahirkan lembaran baru bagi bangsa. Terkuncinya ruang demokrasi akibat kekuatan dari kroni coba digusur itulah harapan awalnya. Reformasi telah sepuluh tahun menjadi teman bangsa Indonesia. Banyak juga hasil yang dapat dirasakan. Memilih presiden, gubernur, bupati, dan walikota secara langsung merupakan buah segar yang telah disantap dari Sabang sampai Merauke dengan start pemilihan presiden 2004.
Reformasi bukanlah cita-cita akhir. Sebab arah tujuan bangsa secara garis besar telah menggariskan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan rakyat. Berarti reformasi salah satu pengawalan agar Indonesia jalannya tak sesat. Namun semangat-semangat reformasi harus tetap dipatrikan oleh seluruh elemen bangsa dengan tidak hanya dimonopoli kalangan mahasiswa. Terkadang perkara inilah paling sulit. Morat-maritnya ekonomi menjelang kenaikan BBM, bermunculannya perkara-perkara korupsi menjadi tanda tiada ruang semangat reformasi di jiwa pelaku-pelaku para pengemban kekuasaan bangsa pada hari ini.
Korupsi yang menjadi-jadi membuat luntur kepercayaan, bahkan akan menimbulkan sikap saling curiga. Imbasnya pembangkangan hukum akan terkumandang jika tidak ada kesadaran dari anak emas bangsa yang posisinya sedang di puncak kekuasaan. Sebab masyarakat bakal menjadi kelompok yang apatis, kelompok yang sadis, kelompok yang frustasi akibat perilaku pemimpin yang miring ditambah cekikan ekonomi karena tak mampu melawan lambungan harga.
Bangsa Indonesia sebenarnya adalah bangsa yang cinta damai, tapi lebih cinta kepada kemerdekaan. Perlu diwaspadai bersama ketika istilah kemerdekaan dipakai sebagai senjata bagi kebebasan tanpa arah tapi memiliki tujuan bagi kepentingan asing dalam memporakporandakan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Harus disadari bersama masyarakat Indonesia paling mudah diadu domba dan termudah lagi adalah diberi uang biar tidak protes. Metode Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang digunakan SBY-JK sebenarnya dapat menjadi bukti yang tak terbantahkan.
Sia-sia rasanya perjuangan para mahasiswa sepuluh tahun silam. Segala ruang telah tertutup bagi masyarakat apalagi bagi golongan kaum miskin. Seluruh sektor secara pelan telah nampak di privatisasikan oleh pemerintah. Wadah pendidikan pun tak lepas dari target upaya untuk meng-komersialisasikannya. Sepertinya ada kesan pemerintah mengurus bangsa tidak serius. Sebab elemen dasar berupa pendidikan pun tak terselamatkan. Istilah Badan Hukum Pendidikan menjadi sodoran pemerintah dalam rangka mebodohkan generasi mudanya. Padahal pendidikan asset masa depan bangsa. Jika dalam ekonominya menyebutnya adalah belanja modal. Tentu masa depan bangsa harus dikendalikan oleh pemuda-pemuda Indonesia yang pintar cemerlang sekaligus berani seperti Tan Malaka ataupun Soekarno. Di era yang serba kapitalis sekarang, kita dihadapkan kepada dua sisi pilihan. Yakni laba/keuntungan atau sisi kemanusian. Memilih kongkalikong dengan kapitalis berarti sisi kemanusiaan dimusnahkan. Kalau Pancasila menjadi dasar Negara pun harus diubah karena sila kedua membicarakan ranah kemanusiaan. Tetapi realitas sekarang telah menjurus ke arah tunduknya pemerintah kepada kapitalisme. Di mana tujuan kapitalis tidak jauh dari kolonialisme.
Indikasinya adalah melalui pencitraan bobroknya kalangan muda. Protes kalangan mahasiswa dicitrakan tidak bermoral dan anarkis. Karena moral dan etika diidentikkan harus linier dengan kekuasaan. Yang ujung-ujungnya adalah meredam nyanyian sumbang akan realitas hidup pada sisi sosial kemasyarakatan. Secara sistematis, gerakan-gerakan menidurkan karya berfikir kritis antara ilmu pengetahuan dengan menyandingkan realitas telah berjalan. Keadaan direkayasa, diciptakan oleh kekuasaan dengan bisikan kaum kapitalis. Kampus-kampus ditetanggai pusat-pusat perbelanjaan, karya-karya hiburan lebih mengangkat tema ke-hantuan yang hina dalam kajian ilmu pengetahuan dengan objek dan subjek kalangan muda bermayoritaskan mahasiswa.
Runtuh bangsa bila tak ada yang menghadangnya. Mahasiswa ruang geraknya mulai disetir ke dunia hedonis ruang politik kenegaraan dengan konteks kekinian diharamkan untuk menjamahnya. Jika tidak sigap dan siap berhadapan, maka mahasiswa bakal menjadi golongan yang mudah di ayun-ayun pikirannya karena sistem menciptakan mahasiswa untuk menjadi golongan pem-beo serta tak sanggup berpikir kritis apalagi menyuarakannya. Padahal semangat republiken, kepeloporan, kejuangan mayoritas berasal dari kalangan muda khususnya mahasiswa. Rintihan derpaan hidup masyarakat selalu jadi pertimbangan mahasiswa dalam bersuara. Secara otomatis ketika mahasiswa lebih memilih menjadi pengikut kapitalis/laba tanpa memperhatikan aspek kemanusiaan, maka semangat reformasi akan serta merta mati tanpa peninggalan roh sekalipun. Tapi yang pasti Indonesia hari-harinya membutuhkan peran dari mahasiswa. Hidup mahasiswa !!! ** *
Penulis adalah Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Untan

Tidak ada komentar: