PONTIANAK—Mantan Bupati Kabupaten Sanggau priode 2003-2008 Yansen Akun Efendi diekskusi Kejaksaan Negeri setempat pada Minggu (15/4) dinihari di Pontianak. Ekskusi atas putusan kasasi Mahkamah Agung dengan menetapkan Yansen terpidana kasus pengadaan Tempat Pembuangan Sampah (TPA) di Desa Sungai Mayam, Kecamatan Meliau tahun 2007 lalu dengan pagu dana Rp 1,7 miliar, dengan pidana dua tahun penjara.
Putusan Kasasi menguatkan hukuman Yansen atas putusan hukum di Pengadilan Negeri dan banding di Pengadilan Tinggi. Dimana putusan tingkat Pengadilan Negeri dan banding, Yansen divonis satu tahun pidana penjara. Putusan itu lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa, yakni 4,6 tahun penjara.
“Betul, Kejari (Kejaksaan Negeri,red) Sanggau melakukan eksekusi putusan kasasi MA terhadap terpidana korupsi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di Sanggau Yansen Akun Effendi. Sekarang (Yansen,red) sudah ditahan di LP (Lembaga Pemasyarakatan),” kata Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasipenkum) Kejati Kalbar Arifin Arsyad, Minggu (15/4) di Pontianak.
Berdasar informasi, Yansen dijemput Jaksa Negeri Sanggau dikediaman pribadinya di Jalan Soekarno-Hatta. Menindaklanjuti putusan kasasi MA yang Kejari Sanggau terima dua pekan lalu. Sebelum kemudian Yansen dijebloskan ke LP untuk menjalani hukuman.
Diketahui, dalam kasus TPA Meliau ini, tim pengadaan, tim
penaksir dan tim inventarisasi (selaku tim pembantu tim penaksir) menyepakati
nilai harga jual tanah sebesar Rp 59 ribu per meter. Lahan yang dibutuhkan
untuk pembangunan TPA tersebut seluas 3 hektar. Total dana yang dipergunakan
untuk pembayaran pembebasan sebesar Rp 1.770.000.000.
Tanah untuk pengadaan
TPA tahun 2007 seluas 3.000 meterpersegi itu dibeli dari Epy Frangki alias Fanjung, seharga Rp 59
ribu per meter yang sebenarnya tanah tersebut
adalah tanah milik negara yang harga aslinya hanya Rp3.000 permeter. Dari data yang
dikumpulkan, BPKP menyimpulkan bahwa akibat gagal pembangunan TPA tersebut
negara telah dirugikan hingga Rp 1,5 miliar.
adalah tanah milik negara yang harga aslinya hanya Rp3.000 permeter. Dari data yang
dikumpulkan, BPKP menyimpulkan bahwa akibat gagal pembangunan TPA tersebut
negara telah dirugikan hingga Rp 1,5 miliar.
Hingga kemudian Kejaksaan menetapkan tiga tersangka. Mereka
adalah Yansen, mantan camat Meliau Ramlan Maringga, dan mantan kabid kekayaan BPKKD
Sanggau Zawawi. Ketiganya sudah divonis bersalah di PN Sanggau pada 2011 lalu.
Dan, Yansen dituntut dengan primair pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) huruf
a, b, ayat (2), (3) Undang-undang RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang RI nomor 31 tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
jo pasal 64 ayat (1) KUHP. Subsidair, pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) huruf a, b
ayat (2), (3) Undang-undang RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan
Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP.Kemudian PN Sanggau dalam putusan Nomor 62/Pid.B/2011/PN.SGU Tahun 2011, menjatuhkan hukuman pidana penjara satu tahun kepada Yansen. Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding karena putusan dianggap lebih rendah dibanding tuntutan. Yansen melalui Kuasa Hukumnya-juga mengajukan banding karena merasa tidak bersalah. Hingga prosesnya berlanjut ke tingkat Kasasi di MA. Dan putusannya, menguatkan vonis di PN maupun banding di PT.
Yansen Protes
Yansen melalui kuasa hukumnya, Roliansyah, protes terhadap proses eksekusi yang jaksa lakukan. Karena dianggap tidak menjalankan sesuai yang diatur dalam KUHAP pasal 270. Yang menyebutkan pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrach) dilakukan jaksa, yang untuk itu panitera mengirim salinan putusan kepada terpidana. “Kita belum menerima tiba-tiba ditahan,” kata Roliansyah.
Menurut Roliansyah, PN Sanggau sudah dikonfirmasi terkait putusan kasasi MA. “Saya cek ke panitera PN Sanggau, baru petikan yang dikirim ke Kejaksaan. Bukan salinan,” kata dia.
Dia menambahkan, petikan itu hakikatnya hanya merupakan ringkasan putusan. Bukan bagian secara utuh. Dan, pihaknya sama sekali belum menerima salinan putusan MA, maka belum diketahui isi putusan tersebut.
Eksekusi yang jaksa lakukan, menurut Roliansyah, sempat membuat kliennya terperanjat, karena didatangi jaksa pada dinihari. Padahal, pihaknya sangat kooperatif untuk mengikuti proses hukum yang berlaku. “Pak Yansen menghubungi saya Minggu dinihari sekitar pukul 03.00, kalau ada Jaksa datang. Katanya ingin mengeksekusi putusan MA. Ini yang kita sayangkan. Salinan belum kita terima. Tapi jaksa langsung mengeksekusi,” kata Roliansyah.
Karena, itu, lanjut dia, pihaknya akan menempuh upaya hukum dengan melakukan Peninjauan Kembali (PK). Hanya saja, proses PK masih menunggu diterimanya salinan putusan MA. “Salinan putusan MA belum kita diterima. Jadi belum tahu hasil putusan yang dijatuhkan. Namun, yang pasti kita sedang mempelajari novum (alat bukti baru) untuk menjadi dasar pengajuan PK,” kata Roliansyah.
Ia turut mempertanyakan alasan jaksa terburu-buru melakukan eksekusi terhadap Yansen. Dan mengkhawatirkan ada faktor diluar hukum yang telah mempengaruhi. Alasannya, salinan belum diterima tapi eksekusi sudah dilaksanakan.
Ia pun meminta kejaksaan tidak tebang pilih dalam menuntaskan perkara korupsi TPA. Tidak hanya menjerat Yansen dan dua tersangka lain. Sebab tim panitia pembebasan tanah untuk TPA sebanyak sembilan orang. Namun hanya tiga tersangka yang kejaksaan tetapkan. “Padahal pencairan dana tidak mungkin hanya Yansen sendiri menandatangani. Kenapa anggota tim lain hanya ditetapkan sebagai saksi. Pemilik tanah harusnya ikut kejaksaan tetapkan sebagai tersangka,” kata Roliansyah.
“Yang jelas kita keberatan dengan eksekusi Jaksa. Proses eksekusi tidak bisa berdiri sendiri. Tapi mempunyai mekanisme aturan yang sudah diatur,” tambah dia. (stm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar