Gantungan Gamelan berkepala Burung Garuda tanda Pinangan Majapahit
Replika Dipinjam Sultan Hamid untuk Inspirasi Rancang Lambang
Negara
Burung garuda menjadi lambang bagi kesultanan Sintang.
Dimana mulanya merupakan tanda pinangan Patih dari Majapahit kepada Ratu Putri
Dara Juanti di Sintang. Kini barang
pinangan tersebut masih tersimpan
sebagai benda pusaka di kesultanan Sintang
SUTAMI, Sintang
Pontianak Post berkesempatan melihat benda pusaka di
kesultanan Sintang. Dengan ditemani pembantu kesultanan, semua bisa diamati
secara langsung. Banyak benda peninggalan sejarah tanda peradaban yang masih
tersimpan. Meski sebagian sudah tampak lapuk termakan usia. Bila tidak ada
penanganan atau perhatian khusus, pada masa mendatang benda pusaka tersebut
tidak tertutup kemungkinan tinggal menyisakan cerita.
Tempat penyimpanan benda pusaka ini disebut museum oleh juru
kunci. Museum itu berupa kamar khusus
yang masih satu bangunan dengan istana.
Letaknya berada disisi kiri bangunan
utama istana. Ada tiga buah kamar setidaknya yang disediakan untuk menyimpan
benda bersejarah tersebut.
Ruangan tiap kamar tidak terlalu luas. Tiap bilik mempunyai
keistimewaan sendiri karena benda pusakanya. Masing-masing dapat mengisahkan
tentang perjalanan masa lalu kerajaan yang menghadap ke Sungai Kapuas ini. Benda pusaka yang didalam kamar itu sebagian
disimpan dalam kaca dengan dilapisi kain kuning. Lalu sebagian lagi dibiarkan
di ruang terbuka.
Salah satu benda yang
diruang terbuka itu adalah seperangkat gamelan. Benda tersebut cukup
menarik perhatian. Belum lagi bila mendengar muasal keberadaannya. Dikisahkan,
jika alat musik khas jawa itu merupakan tanda pinangan Patih Lohgender dari
Majapahit. Dia memberikannya untuk meminang Ratu Putri Dara Juanti.
Gantungan gamelan dilengkapi dengan ukiran menarik berkepala
burung garuda. Coraknya sangat mirip dengan lambang burung garuda yang menjadi
lambang resmi Indonesia. Hanya saja ukiran pada bagian kakinya kini sudah
terkelupas akibat termakan usia. Walau ukirannya berbahankan kayu jati
sekalipun. “Gantungan gamelan ini sudah ada sejak abad ke enam. Ketika Patih Lohgendir meminang Ratu Dara Juanti,”
kata Thamrin Hasan atau biasa disapa Cik Thamrin (74), pembantu kesultanan
Sintang, ini.
Patih Lohgender tidak hanya membawa gamelan ke Sintang. Tapi
juga tanah Majapahit. Kedua benda itu menjadi bagian dari tanda mas kawin untuk
pernikahan Patih dan Ratu. Namun dimana Patih berlabuh dan berapa banyak
rombongan Majapahit datang ke Sintang, Cik Thamrin tidak menyebutkan. Sebab ada
cerita yang menyebutkan jika pihak kerajaan Sintang saat berkunjung ke
Majapahit cukup berjalan kaki. Tanpa harus berlayar menyeberangi lautan. “Kemungkinan
hal yang sama juga dilakukan rombongan asal Majapahit,” kata Cik Thamrin.
Sejak abad keenam
atau pernikahan Patih dan Ratu tersebut, kesultanan Sintang menggunakan burung garuda sebagai lambang
resmi. Kemudian ukiran kepala burung garuda di gantungan gamelan direplika
ulang. Bentuknya dibuat mirip. Namun menjadi agak lebih besar. Pembuatan
replikanya dikerjakan pada sekitar abad ke XVII.
Mengerjakannya dipercayakan kepada seorang pemahat handal
bersuku dayak asal Kapuas Hulu. Hasil pahatan tersebut kini masih berdiri kokoh
dengan disimpan di dalam kaca transparan. “ Nama pemahatnya kalau tidak salah
Sutajaya,” kata Cik Thamrin.
Replika itu sendiri pernah berpindah tempat dari kesultanan
Sintang untuk beberapa lama. Lantaran dipinjam.
Peminjamnya adalah Sultan Hamid II. Konon katanya peminjaman itu sebagai salah
satu insipirasi untuk merancang gambar lambang negara.
“Sultan Hamid memang pernah meminjam replika burung garuda
dengan kesultanan Sintang. Waktu itu saya masih kecil,” kata pensiunan kantor
Bappeda Pemkab Sintang, ini. (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar