Foto Ist (Rakernas II dan Diklatnas III LAKI |
Pemberantasan Korupsi di Indonesia dinilai
berjalan maju dengan keberadaan lembaga Ad Hoc Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Namun dianggap belum mampu maksimal menyeret koruptor di daerah. Karena,
KPK lebih berkutat pada kasus ditingkat nasional
SUTAMI, Sukabumi
Membicarakan masalah korupsi seakan
tidak pernah habis. Pejabat masuk penjara karena korupsi seperti sudah menjadi kabar rutin. Kendati demikian,
korupsi tetap saja muncul. Tidak pernah berhenti walau korupsi telah disebut
sebagai musuh bersama dari semangat reformasi.
Gerakan melawan korupsi mulai
nyaring dan negara mempunyai taring ketika KPK berdiri pada 2011 silam. Banyak
pejabat maupun aparat penegak hukum yang ditangkapinya. Padahal menyeret
pejabat maupun aparat yang korup sebelum KPK tersebut, seperti hal mustahil.
Kinerja KPK memang menjadi bukti
keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Tetapi kasus yang ditangani
masih sangat terbatas. Belum mampu secara menyeluruh, apalagi sampai menyentuh
masalah di daerah. Kecuali kasusnya telah mengundang banyak pihak.
Karena itu, keberadaan KPK
dirasakan tidak cukup kalau hanya berada di Jakarta. Sebab kasus di daerah pasti sulit
terjangkau. Maka peran KPK harus dapat dimaksimalkan. Salah satunya, membuka
perwakilan di daerah dengan kewenangan yang sama. KPK daerah dapat menangkap
dan mengusut kasus para koruptor.
Rasa kekhawatiran akan permasalahan
korupsi di daerah ini menjadi pokok persoalan pembicaraan saat rapat kerja
nasional (Rakernas) II dan Pendidikan Nasional III Laskar Anti Korupsi
Indoensia (LAKI) di Pelabuhan Ratu Sukabumi Jawa Barat 24 hingga 26 April lalu.
Dalam pertemuan itu tumbuh semangat
untuk mendorong pembentukan KPK di daerah.
“Kami menilai jika KPK di daerah
terbentuk, pemberantasan korupsi mampu berjalan maksimal. Sulit kalau hanya
berharap dengan Polisi atau Jaksa. Sementara kini KPK masih banyak terfokus
pada kasus nasional. Belum sampai
menyentuh kasus didaerah,” kata ketua Umum DPP LAKI Burhanudin Abdullah.
Dia mencontohkan jika kasus korupsi
di daerah yang melibatkan Bupati atau Gubernur terkesan kurang maksimal
penanganannya saat diusut Polisi atau Jaksa. Banyak alasan dari aparat penegak
hukum. Antara lain terbentur izin Presiden yang belum turun. Membuat status
hukum kasus yang ditangani mengambang
dan berlarut-larut.
Pejabat Fungsional Pendidikan dan
Pelayanan Masyarakat Pencegahan tindak pidana korupsi KPK, Haris
Moyo Adi, tidak memungkiri jika korupsi tetap menyandera. Termasuk untuk ditingkat
daerah. Penyebabnya yakni pejabat banyak terlilit utang janji politik.
“Kewenangan otonomi daerah banyak
menimbulkan kebijakan Bupati/Walikota soal anggaran tidak terkendali. Kepala
daerah sangat dominan terindikasi menyalahgunakan jabatan. Semua akibat
komitmen politik kepada tim sukses, yang
memberikan janji muluk ketika berkampanye jika terpilih,” kata Haris di
sela acara Rakernas II dan Diklatnas III LAKI.
Menurut dia, setelah terpilih
kepala daerah menjadi lebih mementingkan
kesejahteraan di lingkungan politiknya. Seperti
memberikan proyek tanpa proses tender. Hal demikian merupakan masalah serius
penyebab timbulnya korupsi di daerah. “Hal itu terlihat survei integritas yang
kita lakukan. Kelemahan lain kepala daerah adalah tidak memahami administrasi
keuangan,” kata Haris. (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar